Policy dan Governance di Indonesia

Manajemen Sektor Publik

Policy dan Governance di Indonesia | Juru Ketik | Situs Favorit | Modal Sosial & Pembangunan | CSO & Advokasi | Advokasi Kebijakan | Pojok Buku | Manajemen Sektor Publik | Governance

.

.

Tanggapan

Objective:

To find a fulfilling career that makes the best use of my skills.

Experience

Kesehatan Diswastakan...

Oleh Ashari Cahyo Edi

 

Seperempat jam lalu, saya melihat berita di televisi. Seorang pasien miskin di ditolak berobat di rumah sakit milik Pemda di Ponorogo. Sejumlah analis di koran mengatakan: ”Rumah sakit kehilangan moral!” (Mahlil Ruby, Kompas, 2005). Situs Up Link, salah satu NGO yang bergerak di sektor kaum miskin kota, suatu waktu mengupas privatisasi di sejumlah rumah sakit pemerintah secara kritis. Berikut coretan saya yang serba terbatas. Sitasi masih belum lengkap dan akan saya lengkapi di lain waktu. Jadi tanpa bermaksud tidak etis. Pokok bahasan saya seputar desentralisasi kesehatan dan dampaknya.

 

Yang pertama, menyangkut perubahan kewenangan. Merujuk regulasi, banyak kewenangan dan tanggung jawab melimpah dari pusat ke daerah. UU 32/2004 Pasal 1 ayat 5 mengatakan, ”Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Ayat 6 melanjutkan, ”Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.” Mengenai pembagian urusan, pasal 3 undang-undang yang mengganti UU 22/1999 ini menyebut bahwa urusan pemerintahan yang menjadi urusan pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.

 

Sebagai daerah otonom, pasal 11 menggariskan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan pilihan. Urusan yang wajib dilaksanakan dengan pedoman tandar minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Untuk bidang kesehatan, terkait dengan tugas dan peran kabupaten/kota, diatur dalam paal 14 huruf e. Urusan wajib tesebut mencapai 14 urusan, termasuk di dalamnya bidang kesehatan merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah/kabupaten, dan pelayanan dasar lainya serta peran yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Mengenai penanganan pelayanan kesehatan, Pasal 22 huruf f melanjutkan bahwa pemerintah daerah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan secara lebih luas, ”mengembangkan sistem jaminan sosial (huruf h)”.

 

Selain kewajiban, pasal 21 UU ini mengatur hak-hak pemda antara lain: (a) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; (c) mengelola aparatur daerah; (d) mengelola kekayaan; (e) memungut pajak daerah dan retribusi daerah; (f) mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan Sumber Daya Alam dan sumber daya lainnya di daerah; (g) mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; (h) mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hak dan kewajiban, berikut otonomi yang dimiliki secara preskriptif akan memberi ruang yang besar agar di daerah muncul berbagai inovasi dan inisiatif untuk demokrasi lokal dan daerah sejahtera.

 

Regulasi lainnya yang turut mengatur peran dan kedudukan aparatur daerah dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan adalah Pemerintah Nomor 8 2003. perubahan signifikan dari regulasi sebelmnya yakni dipisahkannya dinas dari lembaga teknis daerah dalam hal ini rumah sakit daerah. Keduanya setara di hadapan kepala daerah. Baik kepala dinas kesehatan maupun direktur rumah sakit bertanggung jawab kepaa daerah. Ini berbeda dengan regulasi sebelumnya, di mana kepala dinas mensubordinasi lembaga teknis seperti RSUD.

 

Selanjutnya dalam regulasi tingkat menteri yakni SE Menkes No. 1107/E/VII/2000 dirinci kewenangan kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Tabel 1 memuat kewenangan desentralisasi daerahKabupaten/Kota.[1]

 Dari SK Menkes tersebut daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan krusial dalam bidang kesehatan. Kegiatannya merentang mulai dari pengaturan dan pengorganisasian sistem kesehatan daerah, perencanaan pembangunan kesehatan wilayah kab/kota, perizinan pelayanan kesehatan, pengembangan pembiayaan kesehatan, penyelenggaraan promosi kesehatan, bimbingan dan pengendalian upaya/sarana kesehatan lingkungan skala kab/kota, hingga perizinan kesehatan.

 

Peran-peran tersebut dikerangkai dengan road map pembangunan kesehatan dalam sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 004/Menkes/Sk/I/2003, diberikan satu cetak biru Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan. Esensi desentralisasi dari regulasi tersebut tampak dari tujuan desentralisasi di bidang kesehatan yakni mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang berlandaskan prakarsa dan aspirasi masyarakat dengan cara memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah untuk kepentingan daerah dan prioritas kesehatan masyarakat miskin. Daerah diidealkan memprakarsai inovasi dalam hal pembangunan kesejahteraan daerah. Tarikannya adalah tanggung jawab pemerintah daerah sebagai bagian dari negara untuk menyediakan public goods (pelayanan kesehatan bagi orang miskin, promosi kesehatan, pencegahan penyakit). Semuanya itu bersifat mendasar dan membutuhkan pelembagaan (kebijakan, perencanaan, penganggaran, dan mekanisme pelayanan) yang baik. Kelembagaan tersebut juga diimbangi oleh perubahan-perubahan secara secara bertahap dari pemerintah dalam hal nilai, perilaku, perspektif dalam relasi dengan masyarakat. Perubahan pada sisi pemerintah, mengikuti preskripsi yang digariskan kebijakan, penting untuk mengimbangi menggeliatnya semangat partisipasi warga dalam kebijakan yang terkait langsung dengan kehidupannya.

 

Karena itu, dalam kebijakan dan strategi desentralisasi arah yang dituju dari regulasi dan desain yang memberi kerangka an arah bagi pembangunan kesehatan dalam desentralisasi kesehatan, diharapkan tidak justru mempersulit ketersediaan akses bagi rakyat miskin. Dalam perspektif keberpihakan dan prioritas program, desentralisasi kesehatan secara spesifik harus diarahkan pada kebijakan dan program pembangunan serta dilengkapi dengan perencanaanan dan penganggaran di daerah yang mengutamakan akses pelayanan kesehatan bagi orang miskin dan peletakaan kelembagaan jaminan sosial pemeliharaan kesehatan.

 

Dalam kebijakan dan strategi tersebut dirumuskan langkah strategis upaya perlindungan kesehatan dan sub-sistem pembiayaan pelayanan kesehatan penduduk miskin, kelompok rentan dan daerah miskin, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan daerah (matching grant). Aspek pembiayaan kesehatan menjadi penting di tengah besarnya tanggung jawab dan kewajiban pemerintah untuk menjamin akses masyarakat miskin atas hak dasar.

Munculnya raperda retribusi puskesmas yang kasat mata berakibat naiknya biaya berobat dengan demikian dipandang masyarakat tidak senafas dengan preskripsi desentraliasi di atas. Upaya “...memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah untuk kepentingan daerah...”, disalahartikan dengan meningkatkan retribusi. Pengelolaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan di puskesmas juga tampak semata-mata mengedepankan pemenuhan aspek-aspek ekonomis. Sebaliknya, tidak advokatif terhadap peningkatan belanja sosial (kesehatan), dan rentan membatasi akses masyarakat miskin ketika tarif naik.

***

Kedua, advokasi juga tidak lepas dari konteks keprihatinan atas semakin lepasnya tanggung jawab negara dan merasuknya mode tata kelola pasar dalam sektor kesehatan. Era otonomi daerah diwarnai adanya kecenderungan swastanisasi dan privatisasi pelayanan yang dulu dipayungi negara (public sector). Salah satu gejala yang gamblang adalah maraknya  perubahan status rumah sakit dari publik ke swasta.

 

Hal ini bisa dirunut dari pandangan yang sesat mengenai sektor publik. Di masa lalu, pelayanan publik yang diberikan oleh negara bisa dipandang mendekati sekadar suatu benevolency dari negara. Berbeda dengan kebanyakan negara demokrasi yang sudah maju, di mana pelayanan publik sebagian besar didanai oleh pajak, pelayanan publik dan juga pembangunan lebih banyak didanai sepihak oleh negara. Puncaknya, sumber daya nomplok hasil oil boom memberi keleluasaan yang besar bagi Orde Baru untuk melakukan ekspansi dalam pelayanan publik. Keberlimpahan tersebut membawa fenomena paradox of plenty,[2] yakni suatu keadaan yang ditandai melimpahnya sumber daya yang besar untuk keleluasaan pelayanan publik dan pembangunan, namun negara mendistribusikan secara deskriminatif—sering sebagai politik carrots and sticks sehingga tidak membawa manfaat bagi seluruh rakyat. Hanya RT, kampung, kelompok, atau suku tertentu yang mendapatkan manfaatnya. Rakyat dalam relasinya dengan negara dalam pelayanan publik cenderung sebatas klien atau konstituen.[3] Parahnya, konstituen atau klien dipersempit terutama bagi pendukung rezim.

 

Saat kapasitas finansial negara merosot, ”paham pelayan publik lama” ini juga berimbas. Karena dipandang sebagai benevolensi, pelayanan juga ikut mengalami kemunduran karena komitmen pembiayaan tidak sepenuhnya dalam kerangka pemenuhan kewajiban negara. Hal tersebut beriringan dengan menguatnya paham baru new public menagament dengan avant garde pendekatan Osbornian melalui reinventing government-nya. Birokrasi dari pusat hingga level daerah pun secara latah mengumbar jargon swastanisasi birokrasi atau mewirausahakan birokrasi. Pelayanan publik dipandang sebagai konsumsi, menghabiskan uang, dan tidak berkontribusi positif bagi anggaran pemerintah. Terlebih, desentralisasi ditandai oleh kecilnya APBD terutama daerah yang miskin sumber daya alam. Setali tiga uang dengan enggannya birokrasi untuk memotong kepentingannya sehingga alokasi belanja langsung daerah bisa semaksimal mungkin untuk pelayanan publik dan pembangunan.

 

Shifting atau pergeseran dalam pilihan paradigma pengelolaan pelayanan publik ini mempengaruhi karakter delivery, status penerima manfaat, penangung beban pembiayaan, yang selanjutnya menegaskan peran dan posisi baik negara, pasar, dan masyarakat. Oleh managerialist epistemics, sektor publik kerap diserang karena sejumlah hal.[4] Pertama, peran pengelola sektor publik membuat ukuran pemerintah gemuk, mengonsumsi terlalu banyak sumber daya, bekerja pada at all cost. Kedua, lingkup peran yang terlalu luas dan dominan di hampir semua ranah sehingga peran swasta tak berkembang. Sementara, sektor swasta dengan ”principal agent” yang jelas, kualitas dan performa dengan serendah-rendahnya cost, justru tidak diuntungkan oleh regulasi. Ketiga, birokrasi sebagai lembaga menjadi tidak populer, dipandang sebagai pelestari inefisiensi dan mediocrity atau incrementalism.

 

Trend baru tersebut membawa dua arus yang saling:[5] (1) menjauh dari apapun mode kepengurusan bersama yang ”birokratis”; (2) diadopsinya  preskripsi nilai, managemen, dan mode/operasionalisasi market based (economic rationalism)—lihat misal Dryzek (2000)[6]—dalam pegelolaan sektor publik.

Pihak yang pecaya pasar menolak adanya intervensi. Beberapa argumen yang diserang terkait dengan hadirnya sektor publik sebagai pengelola tunggal atas barang dan jasa publik (public goods). Pertama, menolak pandangan ”there won’t be enough suppliers to permit competition”. Implikasi dari klaim ini bahwa hanya ada satu tangan penyedia yang sungguh memenuhi syarat untuk memimpin monopoli atau oligopoli. Sebuah monopoli publik yang permanen dipandang lebih baik daripada monopoli temporer swasta. Juga pandangan bahwa civil servant, PNS lebih memliki sense altruistik, atau tercerahkan di banding rata-rata pengusaha. Kedua, menolak ”many public (goods) services are natural monopolies, so they should be operated by public sector”. Mereka mempertanyakan apakah pelayanan tersebut sungguh monopoli natural, dan apakah sektor publik menjadi jalan yang paling baik. Mereka mencurigai hal itu tak lain hanyalah trik birokrasi untuk memotong jalur masuk provider swasta. Kemudian, meski ada konsensus politik bahwa penyediaan barang harus dimonopoli, harus dicurigai klaim bahwa sektor publik merupakan yang terbaik. Sebaliknya, sektor swasta atau sistem yang mengizinkan adanya persaingan akan menghasilkan jaminan dan perlindungan pelayanan yang lebih rendah harganya dengan kualitas yang juga bersaing. Ketiga, ”the service must be provided by the state to ensure that the poor will have access to it”. Ini menjadi argumen dipercayanya negara sebagai penyedia, membuat barang/jasa publik tersedia bagi siapapun, tanpa charges bagi pengguna, seing pada tingkat subsidi harga yang tinggi. Namun hal ini dipandang justru berbahaya bagi publik karena menumbuhkan rendahnya sensitivitas pada manajemen cost dan karyawan, berlanjutnya terus-menerus terjebak dalam rute dan sikap toleransi terhadap pembayaran di bawah skala pasar dan inefisiensi dalam kinerja. Sistem subsidi justru merugikan publik sejatinya, sebab tidak responsif terhadap perubahan permintaan atas pelayaanan. Orang miskin menjadui rentan karena mereka bergantung pada harga subsidi publik, di mana mereka sendiri adalah pembayar pajak. Kemudian kelemahan aturan main bisa menumbuhkan praktik free riders. Keempat, public services should be organized for service not for profit.” Hal ini dipandang purely emosional dan ideologis ketimbang praktikal dan faktual. Karena memperoleh untung adalah naluri manusia. Hal itu adalah insentif yang menumbuhkan progress bagi orang. [7]

 

Kasus perubahan rumah sakit menjadi perseroan terbatas agaknya menjadi contoh menarik baik terkait perubahan mode tata kelola berikut dampaknya bagi “jati diri” kepublikan sektor kesehatan. Privatisasi diidentikkan dengan kemandirian rumah sakit dalam terutama manajemen, keuangan, dan fungsinya terkait tanggung jawab pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dengan menjadi PT maka RSUD adalah badan bisnis yang melayani dengan dasar kontrak penjual dan pembeli layanan. Di berbagai negara pelepasan RSUD ke swasta lazim disebut hospital corporatization.[8] (1) Suatu tahap perubahan dari bentuk lembaga pemerintah dari rumah sakit sebagai unit birokrasi pemerintah; (2) rumah sakit sebagai unit otonomi; (3) rumah sakit sebagai unit korporasi; dan (4) rumah sakit yang diswastanisasikan.

 

Korporatisasi ini mempunyai prinsip mempertahankan kepemilikan pemerintah tetapi mengurangi biaya rumah sakit dengan cara:[9] (1) memberikan wewenang untuk meningkatkan penerimaan dari pasien; (2) mengubah struktur insentif di rumah sakit. Proses corporatization mengarah menjadi suatu lembaga usaha dan adanya pemisahan antara sebagai pembayar dengan pemberi pelayanan. Konsekuensnya, bisa saja terjadi hubungan kontraktual antara pemerintah dengan RS—berbeda dengan dahulu saat pemerntah mampu menggerakkan RS untuk misi politik tertentu. Pemerintah misalnya, kini mulai melakukan subsidi bukan lewat RS langsung tapi melalui askes kepada individu. Dengan begitu, maka RS relatif bebas bergerak.

 

Korporatisasi rumah sakit di era otonomi daerah mulanya membawa ketegangan antara dinas kesehatan dengan rumah sakit daerah. Sebelumnya, direktur rumah sakit bertanggung jawab kepada kepala dinas. Namun kini, bupati/walikota secara langsung menerima pertanggung jawaban dari direktur RSD. Dinas daerah kehilangan kendali (peran rowing) dalam melalui RSUD. Secara umum, perubahan ini oleh pemerintah daerah dipandang sebagai upaya untuk mendorong rumah sakit profesional. Kendati ada pergesekan antara dinas dengan rumah sakit, namun visi besar tersebut diutamakan: pengelolaan berbasis pasar.

 

Sebagai terobosan cara, tujuan akhir yakni sampainya pelayanan ke tangan beneficiaries justru dipertaruhkan. Ada sesat pikir dalam tubuh birokrasi—tertama terkait dengan budaya kerja dan kapasitas personil—di mana mode baru tersebut justru disesat-maknai sebagai berkurangnya atau menjadi minimnya tanggung jawab pemerintah (yang tak lain, sekadar mengingatkan, aktor negara sub nasional). Tidak terintegrasinya pelayanan hak dasar dengan visi dan misi filosofis pelayanan publik menyebabkan ”tujuan menghalalkan cara”. Alhasil, pergeseran ini di banyak negara dunia ketiga menimbulkan ancaman bagi akses pelayanan masyarakat.

 

Dengan trend kebijakan makro nasional, perencanaan kebijakan dan juga demi peran penunjang penyelenggaraan pemerintahan, banyak daerah lantas mengubah dinas teknis menjadi perseroan terbatas (PT) dengan kepemilikan pemda. Itu dilakukan demi mengejar efisiensi, memangkas pemborosan (kinerja tak efisien maupun korupsi). Namun karena bentuknya PT, banyak kritikan dari banyak pihak bahwa pemda ingin lepas tangan dari tanggung jawabnya dan berupaya menambah pundi-pundi keuangannya sendiri.

 

Hal ini juga terkait problem dalam perencanaan dan penganggaran di daerah, yang justru didominasi oleh belanja tidak langsung (untuk gaji dan operasional birokrasi) dan sedikit untuk belanja langsung ke pembangunan dan pelayanan publik. Kritikan juga mengarah bahwa pemerintah daerah yang telah semakin memposisikan masyarakat sebagai customer. Transaksinya dengan begitu adalah ekonomis dan bukan politis.

 

Yang tidak diperhatikan, pilihan untuk memprivatisasi jika tanpa disertai transparansi, masih memungkinkan vested interest birokrasi bermain. Seperti fenomena ISO-nisasi. Di satu sisi, adanya ISO memberikan garansi kualitas layanan, [10] namun tetap akan membebani. Pelayanan yang berkualitas membutuhkan pendanaan yang mencukupi. Dengan tuntutan kaidah managemen, unit cost based for pricing the services, akan membuat tarif layanan naik. Jika bukan pemda, maka masyarakatlah yang menanggung.

 

Kekhawatiran terkait dengan gejala peralihan menuju mode pasar adalah soal bagaimana menjamin akses atas layanan dan pelembagaan pertanggungjawaban. Selama ini, bahkan ketika lembaga RSUD beralih ke PT adalah, delivery system tetap belum dilekati dengan kontrol publik. Di mana mengadu, apakah ada jaminan tindak lanjut pengaduan berikut adanya perbaikan pasca pengaduan, belum ada. Malahan, status rumah sakit daerah sebagai lembaga birokratik yang berubah menjadi PT telah menghilangkan jalinan akuntabilitas politik. Beranjak dari berbagai uraian tersebut, advokasi agar masyarakat mampu dan terlibat untuk turut memutuskan berbagai pilihan kebijakan dalam pelayanan kesehatan di daerah menjadi sentral.

 

Baik pergeseran kewenangan maupun mode tata kelola sektor kesehatan yang mengarah ke pasar merupakan konteks advokasi yang dilakukan oleh masyarakat. Desentralisasi dengan kewengan baru menuntut pengutamaan kinerja pemerintah untuk menjamin hak-hak warga negara dalam sektor kesehatan, sementara peralihan ke swasta perlu diawasi dan dikontrol.

 



[1] Tabel 1dan 2 dikutip dari Albiner Siagian, “Paradigma Baru Pembangunan Kesehatan; Suatu Kajian Kesiapan Daerah Menghadapi Desentralisasi Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010”, makalah tahun 2002, hal. 6-7.

 

[2] Francissea Seda dalam Herry B Priyono et.al., Mencari Format Keadilan Sosial di Indonesia, Penerbit Kompas, 2005.

[3] Janet V. Denhardt & Robert B. Denhardt, New Public Service, Serving Not Steering, M.E. Sharpe, Armonk NY , 2003.

[4] Owen Hughes, Owen Hughes, Introduction to Public Administration and Management, Macmillan Press, NY, 1993.

[5] Ibid., hal. 19-20.

[6] Uraian mengenai perbedaan pengelolaan dari sudut negara (administrative rationalism), pasar (economic rationalism), dan demokrasi (model representatif, yang ia sebut democratic pargmatism) dipahami dari uraian John S. Dryzek kendati sektor yang diamati adalah lingkungan. Lihat John S. Dryzek, The Politics of the Earth: Environmental Discourses, Oxford University Press, Oxford 1997.

[7] Saya peras dari ulasan M. Peter Mchpherson, ”The Promise of Privatization” dalam Steve H. Hanke (editor), Privatization and Development, NewYork, 1989.

[8] Laksono Trisnantoro, ”Reposisi Dinas Kesehatan Akibat Kebijakan Desentralisasi dan Sistem Kesehatan Wilayah”, dalam Laksono Trisnantoro (eds), Desentralisasi Kesehatan di Indonesia dan Perubahan Fungsi Pemerintah 2001-2003: Apakah Merupakan Periode Ujicoba?, Gama Press, Yogyakarta, 2005.

[9] Ibids.

[10] Terungkap dalam Semiloka Nasional “Mendorong Pelayanan Publik yang Responsif dan Partisipatif”, Yogyakarta 7-8 Juni 2007. Diselenggarakan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) dan Partnership Indonesia.

Job Title and Company Name for My Previous Job (1/1/99-1/1/00)
Here is a description of a previous recent job, including my job responsibilities, major projects I completed, and skills I made use of.

Job Title and Company Name for Another Previous Job (1/1/98-1/1/99)
Here is a description of a previous job, including my job responsibilities, major projects I completed, and skills I made use of.